Coba perhatikan gambar di atas. Iya setidaknya
itulah beberapa pendapat masyarakat terhadap kinerja kerja aparat kepolisian di
Indonesia. Kali ini kita akan membahas bagaimana pendapat masyarakat terhadap
aparat kepolisian di Indonesia,tetapi sebelumnya ada baiknya ketahui dulu apa
itu polisi.
Kata polisi berasal dari Politeia,
adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh Plato, seorang filsuf Yunani
Kuno. Buku itu berisi tentang teori dasar polis atau Negara kota. Pada zaman
itu kelompok-kelompok manusia berbentuk himpunan yang merupakan satu kota. Dari
kata politeia itu kemudian timbul kata politik yang
di maksudkan sebagai tata cara mengatur sistim pemerintahan, kata polisi yang
mengatur penegakan peraturan, kata policy atau kebijaksanaan
dan sebagainya. Pengembangan dari semua itulah yang melahirkan Negara dengan
segala atribut dan pengaturannya hingga saat ini.
Kemudian kata politeia berkembang
menjadi maknanya menjadi fungsi polisi seperti yang ada sekarang. Sampai saat
ini polisi di Italia di sebut politeia, yang di Perancis disebut La
Police, di Inggris menyebutnya Police, Belanda Politie dan
German Polizei. Indonesia mengikuti tradisi Belanda menyebutnya
dengan kata Polisi atau Politie di eja dengan ejaan Indonesia.
Di Malaysia mengikuti tradisi Inggris dengan ejaan melayu, Police.
Menurut Kunarto, (1997) Sejarah
kepolisian, tumbuh dan berkembang bersama dengan tumbuh dan berkembangnya
peradaban manusia. Setiap peradaban manusia yang memulai dan merasakan perlunya
keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam mempertahankan kehidupannya, pada
saat itulah sebenarnya fungsi polisi itu ada, tumbuh dan berkembang.
Fungsi polisi itu tumbuh dan berkembang
semakin jelas manakala ancaman terhadap suatu kelompok semakin nyata. Ancaman
itu tidak hanya berupa bahaya yang datang dari luar kelompok itu, tetapi juga
berupa ancaman yang ada didalam kelompok itu sendiri maupun ancaman dari luar
kelompoknya. Kehidupan akan senantiasa melahirkan pergulatan hebat, dimana
manusia yang kuat pada kelompoknya selalu bertindak sebagai pimpinan untuk
melawan musuh dan melindungi kelompok lainnya. Tindakan manusia kuat itulah
wujud dari fungsi polisi yang paling sederhana.
Olehnya itu, berbicara mengenai aparat
keamanan dalam negeri dalam hal ini adalah pihak kepolisian, tentunya
mendapatkan posisi yang penting dalam upaya peningkatan keamanan dalam negeri
tersebut, dalam hal ini adalah NKRI pada umumnya. Olehnya itu,sudah barang
tentu tugas dari penjaga stabilitas keamanan di suatu negara dimandatkan kepada
polisi di samping tentara. Membuat aman dan rasa nyaman kepada masyarakat
adalah salah satunya. Segala tindak kejahatan dan semua tindakan yang dapat
merugikan khalayak ramai adalah “makanan” mereka sehari.
Jika kita bertanya kepada anak-anak
kita, saudara kecil ataupun kerabat dan anggota keluarga mengenai cita-cita,
profesi sebagai polisi masih menjadi favorit pilihan mereka di samping menjadi
dokter yang sangat lumrah. Ini sebenarnya nilai tambah bagi sosok seorang
polisi. Ia begitu diidamkan karena kemuliaan dan keikhlasannya membantu dan
menjaga masyarakat dari tindak kejahatan dan kesulitan serta ketakutan akan
kondisi keamanan. Sosok polisi yang bersahaja menjadi panutan bagi semua
masyarakat seperti sosok polisi yang diidamkan.
Akan tetapi dalam perkembangannya,
Polri (Polisi Republik Indonesia), yang memegang kuasa penuh atas hal tersebut
bukan saja menjadi sosok bak pelindung namun juga kerap sebagai momok yang
menakutkan bagi orang-orang yang tak bersalah atau melanggar hukum. Seiring
berkembangnya dan beranekaragamnya akan dinamika kehidupan, baik di sisi
sosial, ekonomi dan politik, Polri menjadi momok yang menakutkan. Bukan
dikarenakan mereka memiliki senjata yang kapan saja siap disodorkan ke semua
pihak jika melanggar hukum, tapi juga karena moral dan etika dasar polisi sudah
luntur di institusi besar ini.
Tak perlu jauh-jauh kita melihat
bagaimana etika dan moral seorang polisi itu menjadi momok menakutkan bagi
masyarakat termasuk kita sendiri. Di jalan-jalan, tentunya kita sering
menemukan polisi lalu lintas yang mangkal dan patroli di setiap sudut kota dan
daerah. Tugas mereka di sana adalah menertibkan pengguna jalan dan memantau
kondisi jalan, tapi bukan itu yang terjadi, mereka (oknum) justru
merisaukan masyarakat dengan dalih penegakkan hukum. Pemerasan, intimidasi dan
tindak tak terpuji yang sudah sepatutnya di pegang polisi, telah terlalu sering
dilakukan. Hal ini berlanjut sampai sekarang dan tak ada tindakan dari atasan
mereka di institusi. Lain halnya lagi, ada juga (oknum) polisi yang menjadi centeng dari
pembuat atau pelaku tindakan yang melanggar hukum. Club-club malam, tempat
prostitusi, bahkan tempat berjudi justru mendapatkan perlindungan dari (oknum)
polisi, padahal semestinya mereka memberantas hal tersebut. Dalam hal ini
masyarakatlah yang menjadi pihak pertama yang dirugikan.
Seperti beberapa contoh artikel di
bawah ini (2005-2015) yang mengungkapkan hasil survey ketidakpuasannya
masyarakat terhadap kinerja kerja polisi
http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-di-mata-masyarakat.html
http://lapatuju.blogspot.com/2013/04/polisi-di-mata-masyarakat.html
.
.
Kinerja Polisi dalam sejumlah aspek di
Mata Publik
Di mata
publik, kinerja polisi bervariasi, tergantung aspek dan dimensinya. Dalam
pemberantasan perjudian, penangkapan teroris dan perlindungan terhadap aksi
kriminalitas pencurian, pada umumnya masyarakat pada umumnya kinerja polisi
dinilai masyarakat baik. Tapi ada juga yang dinilai buruk oleh umumnya warga,
terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan penanggulangan korupsi di tubuh
polisi sendiri, pemerasan oleh oknum polisi dan tindakan ilegal minning dan
penyelundupan.
(Survei
september 2005)
Sumber : http://www.lsi.or.id/riset/39/kinerja
.
.
Kinerja
Polri Dapat Rapor Merah dari IPW
Minggu,
21 Desember 2014 | 17:39 WIB
JAKARTA,
KOMPAS.com – Kinerja Kepolisian
Republik Indonesia tahun 2014 dinilai sangat tidak memuaskan masyarakat.
Reformasi kepolisian sebagai pengayom, pelindung, pelayan masyarakat juga jalan
di tempat. Padahal Polri memiliki 420.275 personel disertai anggaran Rp 44,5
triliun tahun 2014. Akibatnya, lembaga penegak acto pimpinan Jenderal Sutarman
itu mendapat rapor merah dari Indonesian Police Watch (IPW).
“Kinerja Polri masih merah karena integritas, keteladanan, profesionalisme dan kemitraan sangat lemah dan tidak ada kemajuan sama sekali selama tahun 2014,” ujar Juru bicara IPW Sogi Sasmita dalam acara diskusi dengan tema ‘Police Outlook 2005, Evaluasi dan Proyeksi Kinerja Polri’ di Jakarta, Minggu (21/12/2014).
Hadir dalam acara itu, pengacara Eggy Sudjana, pengamat kepolisian Haris Indra dan Sekretaris Jendral Kompolnas, Hadri Safriadi Cut Ali. Dengan mendapat rapor merah, Sogi menilai Sutarman gagal dalam memimpin lembaga kepolisian. “Presiden harus mengganti Kapolri demi untuk menata kembali institusi kepolisian lebih baik ke depannya,” tegas dia.
Dengan mengganti pucuk pimpinan di tubuh kepolisian, otomatis satuan tingkat kerja yang ada di bawahnya juga akan diganti dengan calon yang lebih segar dan baik. Sogi mencontohkan beberapa kasus yang membelit kepolisian seperti pembukaan rekening milik actor judi online di Jawa Barat yang melibatkan oknum kepolisian. “Jadi ini membuktikan ada konspirasi antara aparat dengan pelaku kejahatan,” kata dia.
Selain itu, lanjut dia, keteladanan pimpinan Polri hilang sehingga muncul bentrokan di Batam antara oknum kepolisian dan tentara. Lebih memprihatinkan lagi, kata dia adalah kriminalisasi terhadap anggota Kompolnas. “Dengan bukti itu semua aspek integritas, keteladanan, dan kemitraan antara polisi dan pengawas (kepolisian) tidak berjalan dengan baik,” ungkap dia lagi.
Dalam paparan Police Outlook 2015 ini telah dimatrikulasi evaluasi kinerja satuan kerja. Rapor merah diberikan kepada Bareskrim, Intelkam, Irwasum, Korlantas, Polda Sumut, Polda Sulsel, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Timur, Polda Kepri. Selain itu, Polda Sumatera Barat, Polda Jambi, Polda Bengkulu, Polda Lampung, Polda Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Tengah, Polda NTT, Polda NTB, Polda Sulawesi Utara dan Polda Gorontalo.
Polda Sulawesi Tenggara, Polda Maluku, Polda Maluku Utara, Polda Aceh, Polda Sumatera Selatan, dan Polda Papua juga mendapat rapor merah. “Adapun actore ukuran memberikan rapor merah adalah actor integritas, keteladanan, profesionalisme, kemitraan,” tandas dia.
“Kinerja Polri masih merah karena integritas, keteladanan, profesionalisme dan kemitraan sangat lemah dan tidak ada kemajuan sama sekali selama tahun 2014,” ujar Juru bicara IPW Sogi Sasmita dalam acara diskusi dengan tema ‘Police Outlook 2005, Evaluasi dan Proyeksi Kinerja Polri’ di Jakarta, Minggu (21/12/2014).
Hadir dalam acara itu, pengacara Eggy Sudjana, pengamat kepolisian Haris Indra dan Sekretaris Jendral Kompolnas, Hadri Safriadi Cut Ali. Dengan mendapat rapor merah, Sogi menilai Sutarman gagal dalam memimpin lembaga kepolisian. “Presiden harus mengganti Kapolri demi untuk menata kembali institusi kepolisian lebih baik ke depannya,” tegas dia.
Dengan mengganti pucuk pimpinan di tubuh kepolisian, otomatis satuan tingkat kerja yang ada di bawahnya juga akan diganti dengan calon yang lebih segar dan baik. Sogi mencontohkan beberapa kasus yang membelit kepolisian seperti pembukaan rekening milik actor judi online di Jawa Barat yang melibatkan oknum kepolisian. “Jadi ini membuktikan ada konspirasi antara aparat dengan pelaku kejahatan,” kata dia.
Selain itu, lanjut dia, keteladanan pimpinan Polri hilang sehingga muncul bentrokan di Batam antara oknum kepolisian dan tentara. Lebih memprihatinkan lagi, kata dia adalah kriminalisasi terhadap anggota Kompolnas. “Dengan bukti itu semua aspek integritas, keteladanan, dan kemitraan antara polisi dan pengawas (kepolisian) tidak berjalan dengan baik,” ungkap dia lagi.
Dalam paparan Police Outlook 2015 ini telah dimatrikulasi evaluasi kinerja satuan kerja. Rapor merah diberikan kepada Bareskrim, Intelkam, Irwasum, Korlantas, Polda Sumut, Polda Sulsel, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Timur, Polda Kepri. Selain itu, Polda Sumatera Barat, Polda Jambi, Polda Bengkulu, Polda Lampung, Polda Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Tengah, Polda NTT, Polda NTB, Polda Sulawesi Utara dan Polda Gorontalo.
Polda Sulawesi Tenggara, Polda Maluku, Polda Maluku Utara, Polda Aceh, Polda Sumatera Selatan, dan Polda Papua juga mendapat rapor merah. “Adapun actore ukuran memberikan rapor merah adalah actor integritas, keteladanan, profesionalisme, kemitraan,” tandas dia.
.
.
Masih Tinggi
Ketidakpuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Polisi
Sabtu, 06 Juni 2015
Kinerja
polisi yang mendapat ketidakpuasan publik tertinggi adalah penanganan korupsi
yakni 78,4 persen, sementara bidang penegakan hukum dan HAM 58 persen dan
penanganan narkoba 53,2 persen.
Hal tersebut terungkap dalam survei yang dilakukan 'The Indonesian Human Rights Monitor' (Imparsial) sejak 17 Juni hinga
4 Juli 2011. Survei terhadap kinerja polisi ini dilakukan di DKI Jakarta dengan
jumlah sample sebanyak 500 orang responden.
Peneliti dari Imparsial Qufron
Mabruri menjelaskan, ketidakpuasan masyarakat DKI Jakarta terhadap kinerja
polisi cukup tinggi dan hampir merata di semua bidang, kecuali dalam penanganan
kasus terorisme.
Dari hasil survei 'Imparsial' ini,
kinerja polisi yang mendapat ketidakpuasan publik tertinggi adalah
penanganan korupsi yakni 78,4 persen, sementara bidang penegakan hukum dan HAM
58 persen dan bidang penanganan narkoba 53,2 persen.
Sedangkan dalam penanganan kasus
terorisme, sekitar 67 persen responden menilai positif kinerja polisi selama
ini.
Qufron Mabruri mengatakan,
"Meski penanganan terorisme memperoleh respon positif dari publik DKI
Jakarta, ia tidak menjadi ukuran bahwa kinerja kepolisian secara keseluruhan
telah membaik. Buktinya hampir semua indikator kinerja yang diangkat didalam
survei ini disikapi secara tidak puas, artinya (masih) mendapat rapor buruk
dari publik. Misalnya, polisi dinilai (oleh masyarakat) masih terlibat korupsi,
kolusi dan nepotisme, masih melakukan penyiksaan, masih melakukan pungutan liar
dan lain sebagainya."
Sementara, Direktur Program
Imparsial Al- Araf menyatakan pengawasan yang lemah terhadap institusi
kepolisian menjadi hambatan utama dalam upaya perbaikan kinerja
polisi. Menurut Al-Araf, hasil survei ini akan disampaikan kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komisi Hukum DPR dan Kapolri Jenderal Timur
Pradopo.
Al- Araf mengatakan penilaian
publik DKI Jakarta tersebut sesungguhnnya menjadi kritik dan sekaligus evaluasi
terhadap polisi agar memperbaiki kinerjanya dan melanjutkan agenda proses
reformasi yang dicanangkan.
Al-Araf mengatakan, "Bahwa
pengawasan menjadi hambatan. Mengapa tugas dan kerja polisi menjadi sangat
buruk. Hal ini menunjukan bahwa peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
yang sudah dibentuk beberapa tahun belakangan, gagal. Kompolnas tidak memiliki
kinerja yang cukup baik didalam melakukan kerja-kerja untuk pengawasan."
Dosen Kajian Ilmu Kepolisian
Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar mengungkapkan kinerja kepolisian
meski di masa reformasi belum mengalami begitu banyak perubahan.
"Saya bekas polisi juga, perubahannya hanya bersifat material,
gedung-gedungnya bagus, pakaiannya bagus, mobinya banyak tetapi dalam sikap
mental, itu yang diharapkan masyarakat belum banyak berubah. Di dalamnya itu
penyidik-penyidik mudah diintervensi oleh mafia-mafia dari luar karena
masalah-masalah intervensi dari luar itu cukup kuat. Dan itu sering menggunakan
kekuatan politik ataupun juga kekuatan ekonomi," ujar Bambang.
Namun, Kepala Biro Penerangan
Masyarakat Mabes Polri, I Ketut Untung Yoga membantah jika polisi tidak serius
menangani berbagai kasus termasuk kasus korupsi. Menurutnya reformasi
kepolisian selama ini telah berjalan dengan baik.
.
.
Dan pada umumnya, dalam ranah
penegakkan hukum, sudah terbukti dan terlihat jelas, begitu banyak (oknum) dari
Polri yang menjadi mafia-mafia dan pelanggar hukum negara. Korupsi dan
nepotisme tumbuh subur di tubuh Polri. Melihat “kegilaan” (oknum) Polri seperti
itu tentu masyarakat semakin antipati terhadap Polri. Tetapi, untungnya,
institusi yang dahulu menjadi panutan kita semua, juga memiliki prestasi yang
sedikit banyak dapat menutupi boroknya. Adanya Badan Narkotika Nasional (BNN)
yang serius membunuh jarungan narkoba di dalam negari dan Detasemen Khusus
(DENSUS) yang fokus memberantas aksi terorisme, juga berbicara banyak.
Keberhasilan BNN dalam memberantas peredaran narkotika dan obat-obatan
terlarang direspon dan dinilai masyarakat dengan tingkat kepuasan yang lumayan
yakni 59% dalam laporan yang dilakukan Litbang KOMPAS. Di samping itu, Densus
yang belakangan ini mengalami peningkatan citra dan popularitas, dinilai dan
direspon masyarakat dengan tingkat kepuasan yang sangat baik, yaitu sekitar
77%.
Dan tentunya, berbicara mengenai
harapan dan tantangan tentang kepolisian ini, maka sebagai warga negara
Indonesia, kita semua berharap Polri ke depannya dapat menjadi lebih baik dan
setia dalam melayani masyarakat seperti moto mereka. Namun tidak menuntut Polri
untuk berubah. Harapan masyarakat itu akan menjadi tantangan berat bagi Polri
untuk menjadi lebih baik. Salah satunya dengan mereformasi dalam skala besar
tubuhnya (Polri). Memberantas segala tindak pelanggaran hukum dan menjaga
masyarakat agar tetap selalu ada dalam rasa aman dan nyaman harus menjadi tugas
utama bagi mereka, hanya tinggal menunggu eksekusinya saja nanti seperti apa.
Jika harapan masyarakat dan tantangan bagi Polri itu tidak dengan serius
dilaksanakan, jangan harap, Polri dapat kembali bercitra baik. Bahkan di masa
depan nanti, anak-anak dan sanak saudara kita akan enggan menyebut profesi
sebagai polisi menjadi cita-cita mereka.
Di lain sisi, seorang
polisi dalam melaksanakan tugasnya akan memiliki banyak pilihan
untuk menempatkan dirinya pada bentangan yang luas antara spektrum posisi
dibenci atau dimuliakan, atau memilih posisi biasa-biasa saja. Namun apapun
posisi yang dipilih, sesungguhnya polisi senantiasa dibutuhkan masyarakat. Di
era transisional sesungguhnya tidak mudah menjadi seorang polisi.
Menghadapi masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak.
Kepada penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang polisi yang
bertugas sebagai penegak hukum, berada di ambang bahaya. Nyawa atau
setidaknya luka di tubuh menjadi taruhannya. Namun, kenyataannya sebagian besar
masyarakat menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelayan
masyarakat, masih terkontaminasi dengan kesan polisi yang masih memiliki
perilaku distortif dan destruktif baik sebagai penegak hukum maupun sebagai
pelayan masyarakat.
Dalam menyikapi sesuatu, kita akan
sangat dipengaruhi oleh bagaimana cara kita memandang persoalan itu sendiri,
demikian juga dalam memandang polisi, yang kini sedang mengalami proses
metamorfosis melalui reformasi struktural, instrumental dan reformasi
kulturalnya. Setiap orang bisa dan berhak memandangnya dari sudut pandang
masing-masing, tetapi yang pasti kita tidak boleh mengembangkan apalagi
memaksakan pandangan pesimis yang mengalahkan rasa optimis. Seperti pepatah
Skotlandia bahwa “Lebih baik kita menyalakan sebuah lilin kecil daripada
(hanya) menyumpahi kegelapan”, karena terus-menerus menyalahkan kegelapan
tidak akan membawa kita keluar dari kegelapan itu sendiri. Kupu kupu yang indah
dan memberi keindahan, merupakan hasil proses metamorfosis dari sebuah
kepongpong.
Dalam perjalanannya, kepolisian menjadi
amat dibutuhkan, terutama saat instabilitas, kriminalitas, dan kekerasan
komunal kian merebak. Masalahnya yang tidak pernah kunjung berhenti adalah,
mengapa polisi yang dirindu juga sekaligus dibenci ?
Pandangan masyarakat terhadap kinerja
Polri terdapat berbagai penilaian Positif dan negatif dari masyarakat. Baik
buruknya citra Polri juga tergantung dari sikap masyarakat, bersikap apatis,
reaktif, kritis atau telah puas atas kinerja Polri selama ini. Polisi yang
berkarakter terpuji yang dapat menempatkan diri sebagai seorang moralis, bapak,
teman, pengabdi, dan tokoh yang dikagumi dan dihormati. Artinya kemulyaan
martabat dan kehormatan anggota Polri dapat di lihat dari besarnya penghargaan
dan pengakuan masyarakat terhadap profesinya. Penghargaan yang sesungguhnya
tercermin dalam realitas perilaku pengabdian dan pelaksanaan tugasnya yang
membawa manfaat bagi masyarakat, bahkan ditempatkan secara terhormat di tengah
kehidupan masyarakat.
Persepsi buruk masyarakat terhadap
citra kepolisian adalah akibat dari ketidak-mampuan polisi menjadi pengayom
masyarakat. Masih banyak orang yang mencibir bahwa hanya ada dua polisi yang
baik, yaitu “polisi patung” dan “polisi tidur”. Bahkan mereka sering berucap
bahwa “polisi tidur saja bisa bikin susah, apalagi sedang berjaga”. Masih
banyak lagi ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap kinerja polisi, begini
katanya: “melaporkan kehilangan kambing ke polisi akan kehilangan sapi”. Jika
dikaitkan dengan kemampuan dan daya dukung kepolisian terhadap upaya pemulyaan
martabat dan kehormatan Polri, terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan
korupsi, citra kepolisian malah semakin terpuruk.
Di tengah derasnya arus pesimisme
masyarakat terhadap Polri, maka hal ini penting untuk dicatat, oleh karena
kalangan internal Polri sendiri dianggap kurang tanggap membenahi diri. Citra
buram selama ini belum banyak berubah, sehingga beragam kritik pedas masih menerpa
korps kepolisian hingga kini. Hubungan polisi dengan masyarakatnya pun, belum
kunjung mesra. ”Kerinduan” masyarakat terhadap polisi, seolah berganti menjadi
”kebencian”.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa
praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga saat, masih cenderung
mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang dilayaninya yang tentunya
berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan pengendalian kejahatan yang
lebih efisien. Oleh karena itu, penerapancommunity policing sangat dibutuhkan
untuk memberikan ruang bagi para aparat penegak hukum tersebut untuk
memperbaiki kembali hubungannya dengan warga masyarakat yang merupakan mitra
utamanya. Kemitraan adalah salah satu wujud nyata komunikasi sehingga kedua
belah pihak, terlebih pihak kepolisian sebagai pihak yang paling berperan dalam
mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah perlu menerapkan strategi
komunikasi yang tepat.
Di tengah-tengah hubungan polisi
masyarakat yang fluktuatif, terkadang membara, ada baiknya kita mengenang
almarhum Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, yang memaknai jati dirinya
sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Hoegeng memaknai seorang agen
polisi sama saja dengan seorang jenderal polisi. Tentu saja yang terakhir
memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang lebih besar. “Hakikat
seorang polisi demikianlah, yang membuat saya mencintai tugas kepolisian dan
bangga sebagai polisi, tanpa membedakan kedudukan dan pangkat!. Hoegeng
membuktikannya dengan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih
tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada atau tidak di
tempat. Misalnya jika di suatu perempatan jalan terjadi kemacetan lalu lintas,
kadang kala dengan baju dinas Kapolri, beliau menjalankan tugas seorang polisi lalu
lintas di jalan raya. “Saya melakukan dengan ikhlas. Sekaligus memberikan
contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus
memberikan teguran dan peringatan secara halus kepada bawahan yang lalai atau
malas!” Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab
polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan citra ideal
seorang polisi dari diri sendiri. Berbarengan dengan itu menaikkan pula citra
seorang komandan polisi yang baik.
Seiring bertambahnya usia, dan
terjadinya proses dialektika antara polisi dan masyarakat. Masyarakat berharap
Polri, senantiasa mengubah jati dirinya menjadi polisi yang mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Polri bermetamorfosis menjadi sosok
polisi yang dipercaya, dicintai dan professional dalam melaksanakan
tugasnya. Dan masyarakat harus meresponya dengan sikap positif, namun tetap
kritis, suportif dan proposional dalam menyikapi reformasi yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian kita. Wajah polisi adalah wajah kita semua, karena
polisi lahir dari masyarakat dan berkarya di tengah masyarakat.
Olehnya itu, perlu kiranya aparat
kepolisian membangun citra yang dapat dipercaya oleh masyarakat. Polisi yang
dipercaya adalah tangga awal untuk merebut hati masyarakat. Hubungan antara
polisi dan masyarakat sering diibaratkan sebagai ikan dan air. Ikan jelas tidak
bisa hidup tanpa air, demikian pula polisi tidak akan dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Dengan demikian, memperoleh dukungan
yang ikhlas dari masyarakat menjadi sangat penting untuk kelancaran tugas,
sesuai dengan yang diamanatkan doktrin polisi mutakhir shaking hands
with the entire community (Satjipto Rahardjo, 1999) bergandengan
tangan dengan seluruh komponen strategis masyarakat.
Hati masyarakat hanya bisa direngkuh
jika Polisi memahami karakter masyarakat, menaruh simpati dan empati yang
tinggi terhadap penderitaan masyarakat, serta betul-betul menempatkan diri
sebagai pengayom dan pelayan masyarakat. Polisi ada untuk menjaga keamanan
masyarakat secara umum. Dengan demikian, rekomendasi alternatif bagi para
pemimpin kepolisian dan jajarannya adalah:
1. Mampu
menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja,
2. Mensosialisasikan
hukum, agar masyarakat menjadikan hukum sebagai solusi penyelesaian masalah,
dan bukan sekedar instrumen yang harus dipatuhi dalam bertindak.
3. Memiliki
sifat realistis dan kritis mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat,
4. Mengetahui
dengan benar kondisi dan aspirasi masyarakat.
Jika rekomendasi tersebut dapat
dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan peraturan yang berlaku, maka
diharapkan Polri dapat mengeliminir segala tantangan, dan mampu mengayomi,
melindungai, memelihara kamtibmas dan penegakan hukum secara efektif.
1 comments:
hasil buah pikiran anda sangat menarik serta didukung dengan data2 konkrit. mohon kunjungan balasannya https://law-justice.co/citra-polisi-semakin-buruk-di-masyarakat.html
Posting Komentar